Sabtu, 05 Desember 2015

Volks.

Di cafe kecil tersembunyi dari deru-deru ibukota, disitu kami jatuhkan beban kami.

Kami longgarkan dasi, kami singkirkan arogansi, dan kami hirup aroma kopi.

Menyengat dan membawa kami terjaga dalam perbincangan panjang.

Itulah hidup, jelas kawan satu ini.
 
Bukan disitulah segala macam politik dan birokrasi yang pegang kendali, mulai sahabatku satu lagi.

Budaya, sejarah, alam yang luar biasa indah, di danau itu, di sawah itu, di tengah belantara, menyusup jauh sekali ke ujung-ujung Nusantara, tumpahkan semua di meja 50x50 centi

Ambil gitar, aku yang nyanyikan lagu. Kali ini aku yang luapkan emosi.

Tentang Lintang yang kemilau, yang coba aku bawa turun ke bumi, kuajak berkeliling.
Tentang senyumnya yang manis sekali, yang selalu aku ulang-ulang kembali tepat diatas meja ini.

Kalian dengar, kalian tertawa, kalian hembuskan asap rokok tersebut sebelum kalian tumbukkan bara apinya,

"Cinta juga yang buat dunia berputar!"

Gelak tawa mengudara tepat jam dua tiga nol nol.

Kita dulu semasa putih abu-abu, apa pernah terpikir seperti ini? Apa terpikir akan langkahkan kaki di jalan masing-masing?

Berat rasanya aku ambil jalan memutar ini sahabat, menjauh dari canda tawa yang kita sama-sama mengerti.

Dari pesan-pesan hidup lewat adukan kopi ataupun dari kebijaksanaa ditengah-tengah tebalnya nikotin yang melayang-layang.

Aku sahabat,

Dari sinipun aku senang pikirkan kalian.


 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar