Sabtu, 28 November 2015

125th St and St. Nicholas

 Prolog

Rumah ini tidak berubah banyak, tapi ini pertama kalinya aku masuk ke kamarnya. Dan itu dia, terbaring diatas ranjang.

Aku berjalan pelan ke sisi ranjang dan duduk di bangku kecil yang tampaknya memang sudah disiapkan.

Dia tampak lemah sekali, namun seketika dia menyadari kehadiranku.

“Aah Look at him, how are you boss?”

“Baik, how are you, Pak? “

“I’ve been better” jawabnya sambil tersenyum kecil

Ada lukisan rajutan menorah dalam bingkai tertempel di dinding, di sisi lain tempatku duduk.

“For below reform, that’s suprising”

“Ooh that, I just kind of want to see how does it look on my wall”

“With that level of joke, seems you’re healthy enough to compete in next marathon”

“I can beat you even if you’re using a train”

“Well keep that spirit, pak”

Usianya mendekati 70, tapi dia tidak terlihat berbeda jauh ketika aku pertama kali bertemu dengannya 8 tahun lalu, kalau dia tidak sakit seperti saat ini mungkin dia benar-benar bisa mengalahkanku dalam marathon.

“Anda menyaksikan game Yankees kemarin?” sambil aku tuangkan untuknya segelas air.

“Tidak, akibat kondisi keparat ini sangat sulit untuk terjaga cukup lama, tapi jangan ceritakan kepadaku, Denise berjanji dia akan beritahukan hasilnya”

“Yakin?”

“Just don’t tell Denise….”

“Red-Sox beat them”

“You must’ve been crazy, why you told me!” seakan-akan dia benar-benar kesal.
“Benar-benar konyol, dimana Rodriguez dan… dan Tanaka, oh yaa aku ingat they’re gone”.

“Denise akan marah besar kepadaku”

“Ngamuk lebih tepatnya” Nafasnya tampak tersengal-sengal

Tiba-tiba dia batuk keras sekali. Berkali-kali.

Kusodorkan kepadanya gelas tadi.

Setelah kembali kendali dirinya, dia tampak akan menyusun kata-kata.

“ Seems you’re doing great?”

“Yeah here and there”

"Saat pertama kali aku bertemu denganmu, ingat apa yang aku bilang?"

"Ini dia insinyur dari padang kita?"

"Yeaah, padang guy they have always something in here", sambil menunjuk-nunjuk pelipisnya.

Aku hanya tersenyum, aku sama sekali tidak mengerti kenapa dia menanyakan hal tersebut.

Walau ditengah wajahnya yang super pucat dan berbintik-bintik. Sekilas kulihat air mukanya berubah

“So have you decided it yet?” Matanya menatapku dalam.

Bangku kecil ini mendadak terasa dingin.


……………

11.000 KM dan ini dia sofa yang sudah dijanji-janjikan.

Lumayan, walaupun tidak seperti yang aku bayangkan. Tapi ini jelas lebih dari cukup.

“Sorry, it’s just a sofa”

“Gapapa Ka, saat ini yang penting cukup untuk bertahan hidup” jawabku sambil tersenyum

There’s the bathroom, the water heater little bit slow tho, just throw your bag anywhere around here,"Sambil menunjuk area kecil disekitar sofa

"My roommates won’t be here until Thursday, so just take it easy. Mmm and anywaaaay have a nice rest, we’ll catch up tomorow, good night, Lang”

“Good night, Ka”

Dia masuk ke salah satu kamar, tanpa aku sempat perhatikan kamar yang mana. Selepas kudengar suara ketukan kecil, segera kuhempaskan badan ke sofa tersebut.

Hufftt, tarik napas dalam-dalam.

Baik, aku disini.

Sekarang.

Duduk dan akan tersungkur diatas sofa yang hanya dilapisi semacam taplak meja.

Tiba-tiba terbersit apa yang John Lennon pikirkan malam sebelum dia ditembak mati di depan apartemennya?

Apa dia sulit tidur?

Apa dia melihat atau mendengar tanda-tanda bahwa dia akan mati, tersungkur berlumur darah besok.

Atau dia mungkin melihat ke luar ke arah lampu-lampu yang tak kunjung padam di awal bulan Desember.

Seperti yang aku lakukan dari sini, dari lantai 4, 125th and St.Nicholas.


Nah.

Just try to close my eyes. 

Maybe as John did.

Senin, 23 November 2015

Di petak tanah kecil ada bunga matahari.

Ada satu petak tanah di rumahku, letaknya dekat pagar, lebarnya mungkin 40 cm panjangnya 1 meter setengah. Di pinggirnya ayah pasang rangkaian besi seperti rel kereta, agar anggur bisa meranggas.

Di tanah tersebut aku tanam bunga matahari dekat dengan tanaman cabai yang mama tanam, juga tomat. Aku tidak pernah tau cara merawat bunga, tapi sesekali aku siram tanahnya. Aku perhatikan bunga tersebut setiap hari, sebelum berangkat dan ketika pulang. Cerah terang benderang, walau kelopak-kelopaknya tampak kering diujungnya. Bunga itu selalu menyambut, di pagi hari dia menyambut dan ketika malam dia menghadap kearahku.

Tournesol, sang pengelana mentari, kata sahabatku Anne. Tournesol yang mencari datangnya sinar matahari.

Entah kenapa di dalam kereta ini, 10 ribu mil jaraknya, aku teringat bunga itu.

Mungkin karena bunga itu tak pernah mengecewakan, tetap bersinar.

Tetap benderang.