Senin, 12 Mei 2014

Idealis

Aku sedang berada di tengah-tengah pesta, di lantai dua.

Setahuku aku tidak sendiri pergi ke pesta ini, hanya saat itu tidak ada orang yang aku kenal berada di sekitarku. Dan aku sulit mengingat dengan siapa aku berangkat.
Namun dari lantai dua, aku bisa melihat ke arah pintu masuk gedung, di sisi pintu masuk, aku melihat A, dia teman SMP ku.

Kami tidak pernah sekelas dan aku hampir tidak mengenal dia sebenarnya. Tapi aku yakin dia juga tau aku.

Aku yakin ini pesta pernikahan, karena sepanjang yang aku ingat, aku tidak pernah berada di pesta selain pesta pernikahan. Paling tidak, tidak sebesar ini.

Dan seperti biasanya, aku menunggu hingga, entah siapapun yang aku temani ke pesta ini, selesai dengan urusannya. Seketika hpku berdering, kulihat panggilan masuk dari M.

"M?", pikirku.

Mungkin lima tahun lebih kami tidak pernah bertegur sapa lagi dan setahuku dia menghindariku. Kini di tengah pesta ini, aku mendapat panggilan telepon darinya.

Aku segera jawab panggilan itu," Halo, M?"

"Ginda kamu dimana? Aku gatau harus bilang ke kamunya gimana, but I'm so happy for you".

"Aku sedang di XXXX, kenapa M?"

"Aku kesana yah", M menutup teleponnya.

Seketika kami tidak merasa canggung. Seakan-akan kami tidak memiliki masa lalu.

M yang dulu, yang aku kenal, memang seperti itu. Keberadaannya selalu menghangatkan.

Aku perhatikan dari pintu masuk, M dengan berlari-lari kecil melewati A yang masih tetap berdiri di pinggir pintu.

Kenapa mereka tak bertegur sapa? M dan A adalah teman satu SMA, bahkan mereka bertetangga.
M punya reputasi besar sebagai gadis yang ceroboh dan tidak sadar dengan sekitar, aku sangat pahami jika dia tidak menyadari keberadaan A. M berlari tepat di depan A, namun A tidak pula menegurnya.

M tidak menjadi pusat perhatian, walau di tengah pesta ini dia hanya mengenakan jeans dan kaos.
Jeans biru, sekeras yang aku bisa ingat kaos putih.

Aku menghampirinya, menuruni anak tangga. Kurasakan sedikit gugup mengenai kabar yang ingin ia katakan. Aku memang sedang menunggu kabar besar, namun tidak mungkin dia tau tentang itu, pikirku singkat.

M.

Dengan senyum khasnya.

Dia menggandengku keluar, kami melewati lorong dan tiba di suatu tempat yang kurasakan sangat mirip dengan kawasan sabuga.

"Aku harusnya tidak boleh bilang ke kamu Ginda, tapi aku tidak tahan untuk kasih tau"

"Apa sih, M?"

"Mmmm sebentar, tapi aku mau pipis dulu?"

Dan dia pergi, entah mencari kamar kecil dimana.

Tak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat T dan B. Sedang duduk diatas motor, berbincang seru seperti biasanya. Ternyata itu parkiran motor, dengan rumput hijau dan tiang-tiang untuk membariskan motor.

Aku menghampiri mereka dan menyapa, disaat itu aku ingat kunciku tertinggal di tiang itu.
Namun, aku memang selalu canggung, malah botol bekas air minum yang kuambil.

T dan B tertawa terbahak-bahak, segera kuambil kunci motor dan pergi untuk menyelamatkan mukaku.

Kulihat M sudah berada di tempat kami semula berpisah,

"Ginda kamu hebat deh, temen kamu siapa namanya, yang sering bikin iseng?"

Aku sebut nama T dan Adr, temanku yang selalu jadi pusat perhatian, karena tingkah lakunya yang lucu.

"Iya, T dan Adr, mereka tidak akan berbanding dengan kamu"

"Kamu smart"

"Namun selalu saja salah pilih calon istri"

Kutatap wajahnya, dia tampak sadar telah mengucapkan hal tersebut.

Aku ingin mengatakan kepadanya, betapa leganya aku akhirnya bisa kembali berbicara dengannya lagi.

Namun dia lebih dahulu mengatakan

"Ginda kenapa kamu tidak mencoba lebih idealis?"

Aku menatap wajahnya

Dalam mata terpejam, aku terus menatap wajahnya.

Namun aku menyadari ini telah berakhir, tidak ada kata lanjut yang M ucapkan.

Aku memilih untuk bangun dari tidur.

kubuka mata dan cukup lama terdiam.

Idealis, M?