Rabu, 30 November 2011

Compass

Sometimes I'm stranded,
In the middle of nowhere,
In the place full of strangers,
Trapped in a dull conversations, drowned in a fake laughter.

I'm losing direction of which way to go,
scattered far away from home,

The wind is blowing free, hissed somebody waiting for me.
 

Now I know the only compass that I need,
is the one leads away from here,

Now I know the only compass that I need,
is the one leads back to you.

Minggu, 13 November 2011

49 - 92

Padang 1949, Foto Ayah dan Mak Tuo tampak gembira bersama angku

 Jakarta 1992, Sejarah seperti sedikit terulang yah..

Rabu, 09 November 2011

Banda Neira.

1 Februari 1936, Muhammad Hatta dibuang ke Banda Neira. Menjejakan kaki di kepulauan Maluku tersebut bersama Sjahrir, Hatta dipaksa menjadi orang terasing. Karena begitu berbahaya dia di tengah masyarakat yang sedang bergejolak meraih perubahan, Hatta dijauhkan dari kehidupan.
Dibuang bukanlah pengalaman pertama bagi Hatta. Menjadi pesakitan pun telah ia jalani di Belanda dulu ketika masih berstatus sebagai pelajar. Kemudian neraka sepi Boven Digul. Lalu Banda Neira.

Terlalu jauh mungkin apabila saya membandingkan kondisi saya saat ini, dengan keadaan Hatta di Banda Neira. Tapi ada satu hal, bahwa saya juga merasa terasing. Terasing dari status. Dua minggu lalu masih tersemat status mahasiswa, sekarang yang ada hanya tanggung jawab dari status yang berbeda, yakni sarjana. Menjadi sarjana dengan tanggung jawab yang melekat padanya. Status menjadi sarjana akan jauh lebih nikmat dan bermakna apabila dengan segala pengetahuan yang telah diperoleh, dapat memberi manfaat.

Dari masa-masa Hatta menjadi orang buangan, saya banyak belajar. Ada kelakar bahwa istri pertama Hatta ialah buku, istri kedua buku, baru istri ketiga Rahmi.Semasa ia menjadi orang buangan sebelum Indonesia merdeka, istri pertama kedua lah yang selalu ada bersama Hatta. Tak kurang dari 16 peti buku ia angkut menyeberangi Laut Jawa dan Laut Banda, hingga sampai ke pengasingannya di Banda Neira. Dalam pengasingan Hatta mengajar kursus lewat surat menyurat kepada murid-muridnya di Pulau Jawa, tetap menyebarkan kesadaran dan kritikan kepada pemerintah kolonial saat itu dalam kolom-kolomnya di berbagai surat kabar yang beredar. Hatta tau benar bahwa semangat dan impiannya lah yang ingin mereka bungkam. Jadi dengan keras ia jaga hal ini dan dengan keras juga ia tularkan.

Hatta yakin Indonesia Merdeka akan hadir, segera. Dan bila hal itu datang, ia akan menjadi bagian penting, karena itu ia harus siap. Seperti Hatta pula, saya yakin akan datang juga kesempatan bagi saya untuk bermanfaat dan menjadi bagian dari pembangunan. Namun harus saya sadari kesempatan itu hanya akan berjodoh dengan kesiapan.

Di Banda Neira, Hatta telah menyiapkan hal-hal besar. Bahkan orang sebesar Hatta pun tak tau kapan Indonesia Merdeka akan hadir, tapi toh Allah berikan juga.

Suatu ketika Hatta mengecat perahu di pinggir pantai Banda Neira, dengan cat merah putih. Tentunya hal ini mengundang perhatian pejabat setempat yang orang Belanda. Dengan cerdasnya Hatta menjawab,"Anda kan tahun sendiri, laut sudah berwarna biru."

Hatta dalam pengasingan tetap berani dan tak henti memelihara pengharapan.

Setelah menjadi sarjana, sempat terpikir saya merasa kosong, seperti tak ada hal yang bisa dilakukan. Namun saya begitu tersadar ketika berkaca kepada pengalaman Hatta,yang dari Timur Indonesia pun Hatta masih meneruskan cahaya, seakan-akan dia mensyukuri, dengan rahmat Allah lah dia disinari matahari lebih dahulu daripada saudara setanah air di pulau Jawa dan dengan tanggung jawab sebagai seorang manusia dan muslim dia tak pernah lelah berjuang. 

Saat ini saya juga sedang dilamun ombak di Banda Neira.

Seperti Hatta saya yakin akan ada kapal datang menjemput.







Jumat, 04 November 2011

Au revoir, @gindabastari.

Jadi hari ini saya menutup akun twitter yang sudah sekitar satu tahun menandai eksistensi saya di dunia maya. Twitter merupakan jejaring sosial yang sangat powerful kalau boleh saya katakan. Seiring dengan perubahan besar-besaran di era informasi, twitter memberi ruang pada masing-masing individu untuk berbagi, tentang apapun. Tidak hanya sampai di situ, dengan twitter komunitas-komunitas dengan mudah terbentuk, saling ikut mengikut, walaupun kadang tak saling terhubung.Tepat 140  karakter, seorang ulama, pengusaha, mahasiswa, pengangguran, sampai anggota DPR dapat berbagi informasi.
Informasi ini begitu deras mengalir. Penting ataupun tidak penting, bermanfaat atau tidak. Dapat dengan mudah kita saksikan, akses dan selanjutnya diserap.

Lalu kenapa saya harus mengakhiri kisah @gindabastari di twitter? Seperti yang saya katakan di atas twitter sungguh merupakan jejaring sosial yang sangat powerful, bahkan mampu menggiring konsentrasi seseorang kepada hal yang sesungguhnya tidak ingin ia ikut sertakan dalam pikirannya. 
Begitu banyak informasi yang masuk, namun tidak semua hal yang saya rasa bermanfaat. Pengguna twitter (termasuk saya dulu) bertubi-tubi melaporkan apa yang mereka lakukan, rasakan, dan pikirkan sembari juga menerima informasi. Ketika saya melihat halaman twitter saya dibawa untuk menyaksikan kisah-kisah setiap pengguna pada halaman tersebut.

Hal yang sangat saya sadari ialah, karena twitter merupakan ajang info menginfokan seperti itu, terkadang menarik saya untuk menguntit kegiatan orang-orang yang ada di lingkar twitter saya.
Twitter seakan-akan menambah kebutuhan bagi saya, kebutuhan untuk menguntit. Untuk ingin tahu kegiatan orang dan membuat asumsi-asumsi.

Jujur saja hal tersebut memang menyenangkan, namun saya tidak ingin menyertakan kegiatan menguntit, terus menjadi bagian dari hidup saya. Lagipula tidak semua yang kita senangi adalah yang kita butuhkan bukan? = )

Hal lain ialah saya merasa tidak semua yang kita ucapkan di twitter merupakan ucapan yang jujur dari dalam diri, terkadang kita hanya ingin mencitrakan diri kita demi pandangan orang lain.

Akhir kata saya ingin memiliki kebebasan lebih, secara sadar atas informasi apa yang saya akses, tanpa terlebih dahulu diarah-arahkan. Saya ingin memilah sendiri informasi yang saya anggap penting. Dan informasi yang penting tersebut tidak termasuk cuap-cuap mengenai ujian yang sulit, kemacetan di Jakarta, atau laporan terlambat bangun di twitter.

Saya ingin mengutip perkataan Mark Zuckerberg

"A squirrel dying in front of your house may be more relevant to your interests right now than people dying in Africa."

Jadi, au revoir @gindabastari !

 

Kamis, 03 November 2011

Di sisi lain stasiun ini.

Di sisi stasiun ini sudah tak ada lagi rintik hujan,
Hanya tinggal genangan yang ia tinggalkan, juga embun.
Juga percikan di setiap langkah gontai, yang menyeret entah beban atau harapan.

Di sisi stasiun ini setiap kereta berarah ke Utara.
Penuh orang lelah, orang yang ingin pulang.
Penuh orang penat, namun harus tetap menempuh perjalanan.

Di sisi stasiun ini aku duduk.
Bersama orang-orang itu.
Aku juga lelah, aku juga penat.

Namun Aku tak mau ambil pusing dengan lelah ataupun penat.
Tapi tidak dengan kekosongan,
Aku benci dengan kekosongan yang selalu menemaniku di sisi stasiun ini.
Yang lama sekali berada dan tak lekang untuk beranjak pergi.

Aku benci kekosongan, setelah berjumpa denganmu.
Seakan banyak sekali diriku yang tertinggal,

Pada senyummu.

Pada tatapanmu.

Selasa, 01 November 2011

Berpanutan kepada Iblis.

Ya Allah Tuhanku yang Maha Mendengar,

berikanlah aku kegigihan layaknya Iblis,
yang tak henti dan tak lelahnya menarikku,
membuaiku dengan godaan dan tipuan,
seketika aku keluar dari rahim ibuku hingga nafas nanti enggan bersamaku. 

Namun Ya Allah, 
Izinkanlah  sifatnya itu bersamaku hanya dalam menapaki jalanMu.