Rabu, 06 Agustus 2014

+60



+60.

Jika kode area ini, diikuti dengan nomer telefon, muncul di layar hp sebagai telefon masuk. Seketika itu juga aku tahu bahwa hari yang menyenangkan telah berakhir.

Jika diibaratkan sebagai pemadam kebakaran, +60 adalah panggilan darurat bahwa di suatu sempat, api telah menggeliat melahap. Dan sebagai pemadam kebakaran, disaat itu juga harus ikhlas meletakkan apa yang sedang kita pegang, menghentikan apa yang sedang kita kerjakan, meraih jaket anti api, mengenakkan helm dan segera meluncur menerjang kobaran api.

Terkadang yang kami dapati hanyalah panggilan konyol, menurunkan kucing dari pohon atau membantu seseorang turun dari lantai dua rumah karena dia dikunci oleh istrinya yang pencemburu, hal ini membuat hari tidaklah begitu buruk.

Sebagian lain cukup serius, api telah melahap kendaraan mereka. Berkobar besar dan asap membumbung, ekspresi lelah dan kesal tercermin dari wajah. Namun, masih bersyukur api tidak juga ikut menghanguskan rumah seisinya.

Namun diantara kesemua panggilan +60, ada beberapa yang benar-benar buruk. Api sudah terlampau besar, menjilat-jilat dengan gilanya. Meraih apapun yang bisa diraihnya, tidak peduli lagi.
Panggilan ini biasa datang dan bagiku selalu datang di tengah malam, ketika semua sedang terlelap tidur. Setelah panggilan itu, kukenakan jaketku dan kuposisikan helmku. Tidak ada rasa takut atau khawatir, sejujurnya tidak ada rasa apapun. Kumainkan lagu terbaik menemaniku mengarungi malam.

Pada situasi ini, ada yang melolong panik ada pula yang lemas terduduk menyaksikan api melahap apa yang mereka punya.  Mereka tau tidak ada lagi yang bisa mereka selamatkan, namun tidak bisa mereka hentikan rasa harap. Bahwa ditengah puing, dibawah tumpukan abu, masih ada yang bisa dipungut dan dari situ semuanya dirangkai kembali.

Api terkadang begitu besar, beribu-ribu litter air telah ditumpahkan tidak juga ada tanda ia mengalah. Tiup angin memperburuk keadaan, membawa jilat api kesana kemari. Namun kami tidak datang hanya untuk menjadi penonton, jika kami datang berarti kami juga sudah siap terpanggang.

Malam hari kami berangkat, pagi dan kemudian masuklah siang. Api sudah mulai padam, kami matikan tepat dimana ia muncul, sampai akhirnya tinggal asap membumbung. Asap menjadi pertanda, membuat orang menyaksikan dan berkumpul.

Yang tersisa hanyalah puing, rongsok dan abu.

Sunyi ketika api itu padam, membuat kupingku sakit bahkan. Baru kurasakan jemari dan wajahku terasa perih, terpapar asap dan terpanggang api.

Kulepaskan jaketku, kutanggalkan helmku. Kuhempaskan ke bagasi mobil.

Seluruh mobil jadi bau asap.

Kumainkan musik terbaikku, tidak ada +60 lagi hari ini.





Minggu, 27 Juli 2014

Ramadhan Kemarin.

Banyak sekali hal yang menyenangkan telah kita nikmati di bulan ramadhan. Makanan dan minuman terasa jauh lebih lezat, kebersamaan erat bersama keluarga dan teman-teman, serta ibadah yang dapat dinikmati lebih intim dan dalam.
Ramadhan memberi kesadaran bagiku. Kesadaran bahwa jalan panjang dan terjal untuk lebih dekat dengan Tuhan, pada bulan ramadhan dimudahkan dan dimungkinkan.

Ramadhan memberi kesadaran akan tanggung jawab. Tanggung jawab terhadap rezeki berlimpah yang aku nikmati. Bagaimana diluar ramadhan, rezeki itu terasa mudah dan terkadang murah. Di dalam ramadhan rezeki itu ditunjukkan nikmatnya dan dinanti tanggung jawabnya. Untuk itulah tidak cukup rezeki hanya disyukuri, namun juga dipertanggungjawabkan.

Ramadhan juga memberi kesadaran, bahwa dia sempat begitu dekat dan kini telah begitu jauh berlalu. Satu detik di depan, satu hembusan nafas, ataupun satu detak jantung benar-benar begitu jauh. Tiap tahunnya ramadhan memberikan harapan dan seketika aku telah dia tinggalkan.

Ramadhan kini, sudah menjadi ramadhan kemarin.

Segala yang baik yang terjadi kemarin, mungkin dan nyata untuk besok. Telah ramadhan tunjukkan dan contohkan.

Segala yang buruk yang terhalang kemarin, mungkin dan nyata untuk tetap terhalang besok. Telah ramadhan tunjukkan dan contohkan.

Segala tembok kemalasan dan keengganan telah tertembus kemarin, tetap terbuka untuk besok. Telah dibukakan oleh ramadhan.

Ramadhan esok, semoga aku berjodoh dengan engkau, entah di belahan bumi mana kita bertemu, tidak akan kubuat malu ramadhan kemarin.



Senin, 12 Mei 2014

Idealis

Aku sedang berada di tengah-tengah pesta, di lantai dua.

Setahuku aku tidak sendiri pergi ke pesta ini, hanya saat itu tidak ada orang yang aku kenal berada di sekitarku. Dan aku sulit mengingat dengan siapa aku berangkat.
Namun dari lantai dua, aku bisa melihat ke arah pintu masuk gedung, di sisi pintu masuk, aku melihat A, dia teman SMP ku.

Kami tidak pernah sekelas dan aku hampir tidak mengenal dia sebenarnya. Tapi aku yakin dia juga tau aku.

Aku yakin ini pesta pernikahan, karena sepanjang yang aku ingat, aku tidak pernah berada di pesta selain pesta pernikahan. Paling tidak, tidak sebesar ini.

Dan seperti biasanya, aku menunggu hingga, entah siapapun yang aku temani ke pesta ini, selesai dengan urusannya. Seketika hpku berdering, kulihat panggilan masuk dari M.

"M?", pikirku.

Mungkin lima tahun lebih kami tidak pernah bertegur sapa lagi dan setahuku dia menghindariku. Kini di tengah pesta ini, aku mendapat panggilan telepon darinya.

Aku segera jawab panggilan itu," Halo, M?"

"Ginda kamu dimana? Aku gatau harus bilang ke kamunya gimana, but I'm so happy for you".

"Aku sedang di XXXX, kenapa M?"

"Aku kesana yah", M menutup teleponnya.

Seketika kami tidak merasa canggung. Seakan-akan kami tidak memiliki masa lalu.

M yang dulu, yang aku kenal, memang seperti itu. Keberadaannya selalu menghangatkan.

Aku perhatikan dari pintu masuk, M dengan berlari-lari kecil melewati A yang masih tetap berdiri di pinggir pintu.

Kenapa mereka tak bertegur sapa? M dan A adalah teman satu SMA, bahkan mereka bertetangga.
M punya reputasi besar sebagai gadis yang ceroboh dan tidak sadar dengan sekitar, aku sangat pahami jika dia tidak menyadari keberadaan A. M berlari tepat di depan A, namun A tidak pula menegurnya.

M tidak menjadi pusat perhatian, walau di tengah pesta ini dia hanya mengenakan jeans dan kaos.
Jeans biru, sekeras yang aku bisa ingat kaos putih.

Aku menghampirinya, menuruni anak tangga. Kurasakan sedikit gugup mengenai kabar yang ingin ia katakan. Aku memang sedang menunggu kabar besar, namun tidak mungkin dia tau tentang itu, pikirku singkat.

M.

Dengan senyum khasnya.

Dia menggandengku keluar, kami melewati lorong dan tiba di suatu tempat yang kurasakan sangat mirip dengan kawasan sabuga.

"Aku harusnya tidak boleh bilang ke kamu Ginda, tapi aku tidak tahan untuk kasih tau"

"Apa sih, M?"

"Mmmm sebentar, tapi aku mau pipis dulu?"

Dan dia pergi, entah mencari kamar kecil dimana.

Tak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat T dan B. Sedang duduk diatas motor, berbincang seru seperti biasanya. Ternyata itu parkiran motor, dengan rumput hijau dan tiang-tiang untuk membariskan motor.

Aku menghampiri mereka dan menyapa, disaat itu aku ingat kunciku tertinggal di tiang itu.
Namun, aku memang selalu canggung, malah botol bekas air minum yang kuambil.

T dan B tertawa terbahak-bahak, segera kuambil kunci motor dan pergi untuk menyelamatkan mukaku.

Kulihat M sudah berada di tempat kami semula berpisah,

"Ginda kamu hebat deh, temen kamu siapa namanya, yang sering bikin iseng?"

Aku sebut nama T dan Adr, temanku yang selalu jadi pusat perhatian, karena tingkah lakunya yang lucu.

"Iya, T dan Adr, mereka tidak akan berbanding dengan kamu"

"Kamu smart"

"Namun selalu saja salah pilih calon istri"

Kutatap wajahnya, dia tampak sadar telah mengucapkan hal tersebut.

Aku ingin mengatakan kepadanya, betapa leganya aku akhirnya bisa kembali berbicara dengannya lagi.

Namun dia lebih dahulu mengatakan

"Ginda kenapa kamu tidak mencoba lebih idealis?"

Aku menatap wajahnya

Dalam mata terpejam, aku terus menatap wajahnya.

Namun aku menyadari ini telah berakhir, tidak ada kata lanjut yang M ucapkan.

Aku memilih untuk bangun dari tidur.

kubuka mata dan cukup lama terdiam.

Idealis, M?

Sabtu, 15 Maret 2014

KKK

- Hari ini, dalam sekian fraksi perasaan, mungkin aku dapat merasakan rindu orang tua kepada anaknya :)

Hari ini hari Sabtu, bekerja di hari Sabtu sempat membuatku lupa bahwa weekend, semenjak 1,5 tahun lalu, selalu lebih instimewa. Hal yang mengingatkanku kembali ialah kaos kutang

Kaos kutang, sepatu, baju, celana, kaos kaki lebih tepatnya

Semuanya dalam ukuran ekstra kecil. Ada yang tergantung di tali jemuran, teronggok di sudut lemari sepatu, atau terlipat rapi di keranjang cucian. Kesemua benda tersebut kepunyaan Kay. Dipakainya saat bermain, naik turun tangga, berhitung satu dua tiga enam tujuh delapan sepuluh dan berlari kencang sekali ketika diajak makan.

Kay datang tadi siang, kemudian aku berangkat kerja di sore hari, dan kembali tepat jam 9 malam.
Ketika aku masuk ke kamar mandi, kutemukanlah kaos kutang itu. Ber bercak coklat, ketumpahan milk tea.

Kay jam 9 sudah tidur. Namun, aku rindu sekali.

Tapi Kay sudah tidur.

Jadi aku ambil wudhu, lalu shalat isya.

Dalam doaku, aku curahkan kerinduanku, semoga ia jadi anak yang cantik, cerdas, sehat-sehat serta periang. Cukup itu saja.

Besok Kay akan hitung lagi satu dua tiga enam tujuh delapan sepuluh. Aku optimis Kay bisa selipkan empat. Satu dua tiga enam tujuh empat delapan sepuluh.