Senin, 27 Juni 2016

Ada kabar dari New York.

Ada kabar dari New York, tentang Blair yang baru menikahi gadis pujaannya, dibesarkan dan didikte bahwa seorang wanita haruslah habiskan hidup dengan laki-laki. Blair dan Lucy, mengikat janji semati, tidak peduli dengan kamu atau aku atau pada teriakkan bahwa cinta dan nafsu itu tipuan terbesar dalam hidup, jika tak mampu kau kendalikkan, lebih baik sudahi dengan kubur dalam-dalam.

Tapi bagi Blair dan Lucy cinta katakan tidak kali ini,kali ini cinta menang.

Ada kabar dari New York, tentang Karant yang berangkat dari Mumbay, berbekal satu koper dan sepucuk surat. Yang sengaja ia simpan untuk dibaca sesampainya di Bay Ridge, di sofa yang merangkap tempat tidur, di sudut di ruang kecil yang dibaginya bersama Kashish dan Hanesh. Ditulis ibunya dengan tinta merah, “Om gam ganesaya namah, Om kami tundukkan diri ke Ganesa, Dewa ilmu pengetahuan, Dewa orang banyak. Karant anakku, kamu boleh rindu, tapi kamu tidak harus kembali. Semoga diterangi jalanmu dalam perantauan”

Ada kabar dari New York, tentang Rob yang putuskan untuk mengejar mimpinya dalam dentingan gitar dan topi cowboy, menyuarakan pesan perdamaian yang mungkin orang-orang sudah muak dengar, dihempas lalu-lalang orang di Times Square, ditengah kepungan kumpulan orang yang tidak peduli. Rob katakan dengan lantang, bahwa seni itu pilihan, walau hanya kenakan celana dalam.


Selalu ada kabar dari kota New York.

Ada Kabar yang melintasi Brooklyn Bridge, yang ketika malam diserbu seribu kunang-kunang yang terang berganti di langit-langit Manhattan.

Ada kabar yang sampai ke orang-orang Hokkien di China Town, di tengah pasar sayur dan remang-remang lampion. Di tengah jualan oleh-oleh murahan yang sudah rusak bahkan sebelum sampai ke tempat tujuan.

Ada kabar dari pengemudi becak asal Nigeria yang dalam kantuk, masih sibuk tawarkan jasa di depan gerbang Central Park di Lincoln Square, untuk bersama mereka kelilingi hutan di tengah belantara aspal dan beton.

Ada kabar dari kereta bawah tanah, yang menjadi pembuluh darah kota yang tak pernah mengaku tua. Mengalir deras, menyebar dan menyentuh setiap sudut kota. Mengantar setiap jiwa-jiwa yang setengah terisi dan setengah mati berusaha bertahan.

Ada kabar yang akhirnya sampai di telingaku, yang sedang duduk di bangku kayu di Washington Square, sambil perhatikan daun gugur pelan-pelan, merah kecoklatan dan tembaga. Sambil kudengar alunan terompet, yang berusaha kembalikan ingatan kota ini tentang Chet Baker, tentang Miles Davis, tentang Louis Armstrong. Tentang romansa yang sudah menjadi kisah dan sejarah, tentang ringan dan indahnya melangkahkan kaki di Greenwich Village, tentang sepotong cupcake yang dibagi berdua sepasang kekasih di Bleecker Street.


Selalu ada kabar dari kota New York, tentang aku yang kian lama kian terkikis, terbentur, terbentuk dan akhirnya menjadi bagian dari deru, cita, dan cinta 8.5 juta orang yang berlalu-lalang dalam sejuknya udara musim gugur di tengah kota yang menolak untuk tidur.

Rabu, 30 Desember 2015

Kamarku di lantai tiga.


Dari lantai tiga ini aku memulai dan mengakhiri hari.
Dindingnya tipis dan lantainya berderik-derik ketika aku melangkah.
Kamarku selalu berantakan, di Bandung dan juga disini.

Di Bandung dan juga disini, aku punya buku-buku yang kebanyakan belum terbaca.
Dari semua yang berantakan di dalam kamarku, dengan bangga aku pandangi buku-buku yang berderet rapi di rak.

Buku-buku ini selalu menjadi bagian dari jiwaku, mengizinkan aku untuk berdiskusi, bermimpi, beranikan diri untuk memandang jauh sekali ke depan dan belajar dari cerita-cerita lampau yang penuh dengan petualangan.

Kamar ini dulu dingin sekali.

Lantainya penuh debu dan juga dindingnya banyak bercak-bercak.
Aku bersihkan sedikit-sedikit.

Aku letakkan baju-baju, buku-buku, sepatu-sepatu.
Aku gelar karpet termurah yang bisa aku temukan dan aku hamparkan sajadah yang aku bawa dari rumah.

Disini aku akan tersungkur, tertunduk, menangis, bercerita, dan meluapkan semua perasaanku.
Diatas sajadah ini.

Di satu sisi kamarku, ada peta dunia besar sekali.
Sekali-kali aku lintasi jemariku diatas peta besar tersebut,
ah hanya 7 langkah jemari, menyebrangi Samudra Atlantik, melewati Eropa, menuju rumah.

Semua, semua tentang aku, di kamar ini.

Kuletakkan.

Kulemparkan.

Kutempelkan.

Kuhamparkan.

Kuteriakkan.

Kamar ini mulai perlahan menjadi hangat.
Perlahan menjadi mesra dalam serbuan angin yang menggetar-getarkan jendelannya.
Walau dindingnya tipis, tetapi selimutnya hangat.
Walau lantainya berderik-derik ketika aku melangkah, tetapi tidak diatas karpetku.

Kamar ini perlahan menjadi rumah.

Setiap kali aku melangkahkan kaki keluar kamar ini, aku pandangi sekeliling sebelum pintunya aku kunci.

Kamar di lantai tiga ini, akan terus ada disini ketika aku kembali.







Sabtu, 05 Desember 2015

Volks.

Di cafe kecil tersembunyi dari deru-deru ibukota, disitu kami jatuhkan beban kami.

Kami longgarkan dasi, kami singkirkan arogansi, dan kami hirup aroma kopi.

Menyengat dan membawa kami terjaga dalam perbincangan panjang.

Itulah hidup, jelas kawan satu ini.
 
Bukan disitulah segala macam politik dan birokrasi yang pegang kendali, mulai sahabatku satu lagi.

Budaya, sejarah, alam yang luar biasa indah, di danau itu, di sawah itu, di tengah belantara, menyusup jauh sekali ke ujung-ujung Nusantara, tumpahkan semua di meja 50x50 centi

Ambil gitar, aku yang nyanyikan lagu. Kali ini aku yang luapkan emosi.

Tentang Lintang yang kemilau, yang coba aku bawa turun ke bumi, kuajak berkeliling.
Tentang senyumnya yang manis sekali, yang selalu aku ulang-ulang kembali tepat diatas meja ini.

Kalian dengar, kalian tertawa, kalian hembuskan asap rokok tersebut sebelum kalian tumbukkan bara apinya,

"Cinta juga yang buat dunia berputar!"

Gelak tawa mengudara tepat jam dua tiga nol nol.

Kita dulu semasa putih abu-abu, apa pernah terpikir seperti ini? Apa terpikir akan langkahkan kaki di jalan masing-masing?

Berat rasanya aku ambil jalan memutar ini sahabat, menjauh dari canda tawa yang kita sama-sama mengerti.

Dari pesan-pesan hidup lewat adukan kopi ataupun dari kebijaksanaa ditengah-tengah tebalnya nikotin yang melayang-layang.

Aku sahabat,

Dari sinipun aku senang pikirkan kalian.


 






Sabtu, 28 November 2015

125th St and St. Nicholas

 Prolog

Rumah ini tidak berubah banyak, tapi ini pertama kalinya aku masuk ke kamarnya. Dan itu dia, terbaring diatas ranjang.

Aku berjalan pelan ke sisi ranjang dan duduk di bangku kecil yang tampaknya memang sudah disiapkan.

Dia tampak lemah sekali, namun seketika dia menyadari kehadiranku.

“Aah Look at him, how are you boss?”

“Baik, how are you, Pak? “

“I’ve been better” jawabnya sambil tersenyum kecil

Ada lukisan rajutan menorah dalam bingkai tertempel di dinding, di sisi lain tempatku duduk.

“For below reform, that’s suprising”

“Ooh that, I just kind of want to see how does it look on my wall”

“With that level of joke, seems you’re healthy enough to compete in next marathon”

“I can beat you even if you’re using a train”

“Well keep that spirit, pak”

Usianya mendekati 70, tapi dia tidak terlihat berbeda jauh ketika aku pertama kali bertemu dengannya 8 tahun lalu, kalau dia tidak sakit seperti saat ini mungkin dia benar-benar bisa mengalahkanku dalam marathon.

“Anda menyaksikan game Yankees kemarin?” sambil aku tuangkan untuknya segelas air.

“Tidak, akibat kondisi keparat ini sangat sulit untuk terjaga cukup lama, tapi jangan ceritakan kepadaku, Denise berjanji dia akan beritahukan hasilnya”

“Yakin?”

“Just don’t tell Denise….”

“Red-Sox beat them”

“You must’ve been crazy, why you told me!” seakan-akan dia benar-benar kesal.
“Benar-benar konyol, dimana Rodriguez dan… dan Tanaka, oh yaa aku ingat they’re gone”.

“Denise akan marah besar kepadaku”

“Ngamuk lebih tepatnya” Nafasnya tampak tersengal-sengal

Tiba-tiba dia batuk keras sekali. Berkali-kali.

Kusodorkan kepadanya gelas tadi.

Setelah kembali kendali dirinya, dia tampak akan menyusun kata-kata.

“ Seems you’re doing great?”

“Yeah here and there”

"Saat pertama kali aku bertemu denganmu, ingat apa yang aku bilang?"

"Ini dia insinyur dari padang kita?"

"Yeaah, padang guy they have always something in here", sambil menunjuk-nunjuk pelipisnya.

Aku hanya tersenyum, aku sama sekali tidak mengerti kenapa dia menanyakan hal tersebut.

Walau ditengah wajahnya yang super pucat dan berbintik-bintik. Sekilas kulihat air mukanya berubah

“So have you decided it yet?” Matanya menatapku dalam.

Bangku kecil ini mendadak terasa dingin.


……………

11.000 KM dan ini dia sofa yang sudah dijanji-janjikan.

Lumayan, walaupun tidak seperti yang aku bayangkan. Tapi ini jelas lebih dari cukup.

“Sorry, it’s just a sofa”

“Gapapa Ka, saat ini yang penting cukup untuk bertahan hidup” jawabku sambil tersenyum

There’s the bathroom, the water heater little bit slow tho, just throw your bag anywhere around here,"Sambil menunjuk area kecil disekitar sofa

"My roommates won’t be here until Thursday, so just take it easy. Mmm and anywaaaay have a nice rest, we’ll catch up tomorow, good night, Lang”

“Good night, Ka”

Dia masuk ke salah satu kamar, tanpa aku sempat perhatikan kamar yang mana. Selepas kudengar suara ketukan kecil, segera kuhempaskan badan ke sofa tersebut.

Hufftt, tarik napas dalam-dalam.

Baik, aku disini.

Sekarang.

Duduk dan akan tersungkur diatas sofa yang hanya dilapisi semacam taplak meja.

Tiba-tiba terbersit apa yang John Lennon pikirkan malam sebelum dia ditembak mati di depan apartemennya?

Apa dia sulit tidur?

Apa dia melihat atau mendengar tanda-tanda bahwa dia akan mati, tersungkur berlumur darah besok.

Atau dia mungkin melihat ke luar ke arah lampu-lampu yang tak kunjung padam di awal bulan Desember.

Seperti yang aku lakukan dari sini, dari lantai 4, 125th and St.Nicholas.


Nah.

Just try to close my eyes. 

Maybe as John did.

Senin, 23 November 2015

Di petak tanah kecil ada bunga matahari.

Ada satu petak tanah di rumahku, letaknya dekat pagar, lebarnya mungkin 40 cm panjangnya 1 meter setengah. Di pinggirnya ayah pasang rangkaian besi seperti rel kereta, agar anggur bisa meranggas.

Di tanah tersebut aku tanam bunga matahari dekat dengan tanaman cabai yang mama tanam, juga tomat. Aku tidak pernah tau cara merawat bunga, tapi sesekali aku siram tanahnya. Aku perhatikan bunga tersebut setiap hari, sebelum berangkat dan ketika pulang. Cerah terang benderang, walau kelopak-kelopaknya tampak kering diujungnya. Bunga itu selalu menyambut, di pagi hari dia menyambut dan ketika malam dia menghadap kearahku.

Tournesol, sang pengelana mentari, kata sahabatku Anne. Tournesol yang mencari datangnya sinar matahari.

Entah kenapa di dalam kereta ini, 10 ribu mil jaraknya, aku teringat bunga itu.

Mungkin karena bunga itu tak pernah mengecewakan, tetap bersinar.

Tetap benderang.





Minggu, 24 Mei 2015

Hari Pertama Lintang.

Kalau kalian melihat Lintang, dengan seyakin jiwa kalian akan tahu betapa bersemangatnya dia hari ini.

Hari ini, hari pertama Lintang bersekolah, jauh-jauh hari sebelumnya Lintang sering sekali berbicara dia ingin cepat-cepat bersekolah.

"Penantian panjang", Lintang bilang kepada dua adiknya yang masih kecil-kecil, sama-sama gadis.

Sekarang hari ini telah datang, bukan begitu Lintang?

Bajunya sudah terpakai rapi, baru pula. Tidak lupa rompinya berwarna biru tua, baru dijahitnya kemarin, katanya di ruang kelas dingin dan bapak ibu guru lebih suka melihat gadis manis rapih memakai rompi.

Rambut ikalnya panjang, dikuncir diikat ke belakang, ibu dan omanya sering mengingatkan rapihkan rambutmu ikat ke belakang, anak gadis harus rapih, walaupun tidak nyaman tapi Lintang juga sepakat bahwa hari ini hari penting.

Jarinya yang kurus dan panjang-panjang dengan perlahan meletakkan buku-buku ke dalam tas. Terlebih dahulu buku gambar, lalu buku tulis, dan kotak pensilnya yang dia pilih sendiri kemarin, kotak plastik berwarna merah muda, dia benamkan di dasar tas.

Ah...hari ini hari besar bagimu yah Lintang? Kacamata bingkai hitammu, lalu senyummu yang mengembang sebelum keluar kamar.

Ayo ayah dan ibunda sudah menunggu diluar. Cium tangan ayah dan ibumu, peluk erat sebentar.

Lintang, lambaikan tanganmu dari mobil jemputan.
Bertemu kawan-kawanmu yang juga baru-baru,
tetapi Lintang cerdas, Lintang cantik, tak pernah malu-malu.

Sodorkan tangan terlebih dahulu, tunjukkan bahwa kamu siap melalui cemerlang senyummu.

Karena apapun juga kamu adalah Lintang.

Ayah dan Ibunda Lintang, juga oma dan opa, dan adik-adik cantikmu yang sekarang masih lelap tertidur, mereka juga ikut. Tidak dalam mobil jemputan itu, tidak bersama kawan-kawan barumu.

Tetapi dalam doa.

Teriring

Semoga Allah, selalu menjaga senyummu Lintang,
Dalam langkah awalmu.

Dalam doa ini kami bayangkan kamu selalu sehat, kami bayangkan kamu selalu dalam kemudahan.
Kami bayangkan kamu Lintang, kamu kuat dan tegar. Sehingga dapat kamu temukan apa yang selama ini ada dalam keingintahuanmu.

Aku yang selalu memperhatikanmu, juga punya doa, memang tidak akan terucap, namun apapun itu, lebih baik kutunggu kamu pulang Lintang.

Dimana kamu bisa ceritakan harimu

Aku bisa ceritakan hariku

Dan tentang apa yang ada diantara itu.

Tentang hari ini, hari pertama Lintang.








Jumat, 15 Mei 2015

Dari Bangku Belakang.

Siang itu begitu panasnya di jalan Palmerah, telah lama aku menunggu sampai akhirnya ada taksi yang menjawab lambaian tangan. Kubuka pintu belakang, kuletakkan pelan ransel diatas bangku lalu kugeser keujung agar ada ruang.

Kuucapkan salam kepada pengemudi, seperti biasanya.

Aku selalu ucapkan salam terlebih dahulu, karena pertama-tama menurutku memang begitulah seharusnya.
Kedua, aku ingin tau seberapa ramah pengemudi taksi tersebut, membantuku untuk tidak cemas dan tak terpikir macam-macam.

Aku masih ingat, namanya Wahyudin. Mungkin diawal-awal 40 tahun umurnya. Dia menjawab salamku dengan hangat, menanyakan kabar dan meminta arahanku kemana taksi akan dia kemudikan.

Taksi sudah berjalan beberapa kilometer ketika pak Wahyudin  membuka pembicaraan, dia mengatakan jalan Gatot Subroto saat ini macet luar biasa, bisa dikatakan lumpuh, karena ada truk yang menumpahkan cairan kimia menyebabkan kendaraan tak bisa melintas. Aku sendiri sudah mengetahui kabar tersebut dan membenarkan pernyataannya.

Saat itu aku tidak berpikir banyak mengenai kemacetan di jalan Gatot Subroto, aku hanya berharap aku akan sampai tepat waktu di kantor sore itu. Aku berjanji sudah ada di kantor jam 4 sore untuk meeting persiapan project keesokan harinya.

Di sekitar jalan Permata Hijau, pak Wahyudin berkata kepadaku, "Teman saya sebentar-sebentar sms mas, menanyakan jalan"
"Maklum baru bergabung jadi pengemudi"

Melalui spion tengah kulihat dia juga menatapku di bangku belakang

" Dia baru di Jakarta pak?", Tanyaku.

"Engga sih, dia baru saja jadi supir taksi mas, lulusan S1"

Aku menyadari adanya realita ini, bahkan aku kenal beberapa orang yang demikian. Sarjana ekonomi menjadi satpam, sarjana sains matematika menjadi office boy, gelar sarjana bukan lagi tiket masuk.

"Sayang sekali, lulusan mana pak? "
"Wah lulusan mana yah mas, saya juga belum sempat tanya-tanya, orang baru kemarin dia masuk. Dia bekas manajer, perusahaannya bangkrut"

Seketika juga ucapannya menyedot perhatianku. Aku masih bisa mencerna apabila dia baru saja lulus, tapi manajer?

"Apa perusahaannya pak?"

"Semacam perusahaan konstruksi gitu mas"

Di bangku belakang, diatas jok hitam itu aku kembali teringat kata-kata Ayah.

Bahwa manusia terkadang tak lebih dari debu diatas meja yang kotor. Dihempaskan sekali hilang beterbangan. Sekeras apapun upaya berpegang akan kacau dan menghambur.

"Sekarang sambil mengemudi taksi, dia juga mencari pekerjaan lain mas, namun susah katanya"

Aku tak banyak berbicara setelahnya, aku terpikir kadang kita punya mimpi setinggi langit, sedikit saja meleset dari impian kita rasanya kesal dan tidak adil. Namun, banyak impian yang tak mampu keluar dari bilik-bilik kamar. Impian yang bahkan tak terpikir, karena yang terbayang hanya hingga hari esok, selebihnya cuma misteri.

Masa depan bagiku juga selalu misteri, tapi selama ini selalu kulihat terang benderang, aku sadari saat itu bahwa mungkin karena keadaan berpihak kepadaku.

Apabila tidak lagi berpihak, akankah aku masih bisa seperti ini? Ketika dihempas dengan sebenar-benarnya dihempas apa masih punya keberanian untuk melihat keatas?

"Mas dulu lulusan mana?" tanya pak Wahyudin ketika kami memutari bundaran HI

"ITB pak"

"Luar biasa, pengen saya seperti mas"

Aku hanya memberi senyum.

Sampai di tempat tujuan, aku,  masih dari bangku belakang merapihkan ranselku dan menyerahkan uang 80 ribu.

"Terima kasih mas, minggu depan saya wisuda, kelas malam, mudah-mudahan rejekinya anak-anak bisa liat bapaknya kerja kantoran"

Dari bangku belakang, aku jabat erat tangannya dan bergegas keluar.

15.57

Bangku Belakang menyisakan cerita untuk yang lain.