Rabu, 09 November 2011

Banda Neira.

1 Februari 1936, Muhammad Hatta dibuang ke Banda Neira. Menjejakan kaki di kepulauan Maluku tersebut bersama Sjahrir, Hatta dipaksa menjadi orang terasing. Karena begitu berbahaya dia di tengah masyarakat yang sedang bergejolak meraih perubahan, Hatta dijauhkan dari kehidupan.
Dibuang bukanlah pengalaman pertama bagi Hatta. Menjadi pesakitan pun telah ia jalani di Belanda dulu ketika masih berstatus sebagai pelajar. Kemudian neraka sepi Boven Digul. Lalu Banda Neira.

Terlalu jauh mungkin apabila saya membandingkan kondisi saya saat ini, dengan keadaan Hatta di Banda Neira. Tapi ada satu hal, bahwa saya juga merasa terasing. Terasing dari status. Dua minggu lalu masih tersemat status mahasiswa, sekarang yang ada hanya tanggung jawab dari status yang berbeda, yakni sarjana. Menjadi sarjana dengan tanggung jawab yang melekat padanya. Status menjadi sarjana akan jauh lebih nikmat dan bermakna apabila dengan segala pengetahuan yang telah diperoleh, dapat memberi manfaat.

Dari masa-masa Hatta menjadi orang buangan, saya banyak belajar. Ada kelakar bahwa istri pertama Hatta ialah buku, istri kedua buku, baru istri ketiga Rahmi.Semasa ia menjadi orang buangan sebelum Indonesia merdeka, istri pertama kedua lah yang selalu ada bersama Hatta. Tak kurang dari 16 peti buku ia angkut menyeberangi Laut Jawa dan Laut Banda, hingga sampai ke pengasingannya di Banda Neira. Dalam pengasingan Hatta mengajar kursus lewat surat menyurat kepada murid-muridnya di Pulau Jawa, tetap menyebarkan kesadaran dan kritikan kepada pemerintah kolonial saat itu dalam kolom-kolomnya di berbagai surat kabar yang beredar. Hatta tau benar bahwa semangat dan impiannya lah yang ingin mereka bungkam. Jadi dengan keras ia jaga hal ini dan dengan keras juga ia tularkan.

Hatta yakin Indonesia Merdeka akan hadir, segera. Dan bila hal itu datang, ia akan menjadi bagian penting, karena itu ia harus siap. Seperti Hatta pula, saya yakin akan datang juga kesempatan bagi saya untuk bermanfaat dan menjadi bagian dari pembangunan. Namun harus saya sadari kesempatan itu hanya akan berjodoh dengan kesiapan.

Di Banda Neira, Hatta telah menyiapkan hal-hal besar. Bahkan orang sebesar Hatta pun tak tau kapan Indonesia Merdeka akan hadir, tapi toh Allah berikan juga.

Suatu ketika Hatta mengecat perahu di pinggir pantai Banda Neira, dengan cat merah putih. Tentunya hal ini mengundang perhatian pejabat setempat yang orang Belanda. Dengan cerdasnya Hatta menjawab,"Anda kan tahun sendiri, laut sudah berwarna biru."

Hatta dalam pengasingan tetap berani dan tak henti memelihara pengharapan.

Setelah menjadi sarjana, sempat terpikir saya merasa kosong, seperti tak ada hal yang bisa dilakukan. Namun saya begitu tersadar ketika berkaca kepada pengalaman Hatta,yang dari Timur Indonesia pun Hatta masih meneruskan cahaya, seakan-akan dia mensyukuri, dengan rahmat Allah lah dia disinari matahari lebih dahulu daripada saudara setanah air di pulau Jawa dan dengan tanggung jawab sebagai seorang manusia dan muslim dia tak pernah lelah berjuang. 

Saat ini saya juga sedang dilamun ombak di Banda Neira.

Seperti Hatta saya yakin akan ada kapal datang menjemput.







1 komentar:

  1. semoga ombaknya cepet reda jadi kapalnya cepet dateng ya kakaak :D

    BalasHapus