Jumat, 15 Mei 2015

Dari Bangku Belakang.

Siang itu begitu panasnya di jalan Palmerah, telah lama aku menunggu sampai akhirnya ada taksi yang menjawab lambaian tangan. Kubuka pintu belakang, kuletakkan pelan ransel diatas bangku lalu kugeser keujung agar ada ruang.

Kuucapkan salam kepada pengemudi, seperti biasanya.

Aku selalu ucapkan salam terlebih dahulu, karena pertama-tama menurutku memang begitulah seharusnya.
Kedua, aku ingin tau seberapa ramah pengemudi taksi tersebut, membantuku untuk tidak cemas dan tak terpikir macam-macam.

Aku masih ingat, namanya Wahyudin. Mungkin diawal-awal 40 tahun umurnya. Dia menjawab salamku dengan hangat, menanyakan kabar dan meminta arahanku kemana taksi akan dia kemudikan.

Taksi sudah berjalan beberapa kilometer ketika pak Wahyudin  membuka pembicaraan, dia mengatakan jalan Gatot Subroto saat ini macet luar biasa, bisa dikatakan lumpuh, karena ada truk yang menumpahkan cairan kimia menyebabkan kendaraan tak bisa melintas. Aku sendiri sudah mengetahui kabar tersebut dan membenarkan pernyataannya.

Saat itu aku tidak berpikir banyak mengenai kemacetan di jalan Gatot Subroto, aku hanya berharap aku akan sampai tepat waktu di kantor sore itu. Aku berjanji sudah ada di kantor jam 4 sore untuk meeting persiapan project keesokan harinya.

Di sekitar jalan Permata Hijau, pak Wahyudin berkata kepadaku, "Teman saya sebentar-sebentar sms mas, menanyakan jalan"
"Maklum baru bergabung jadi pengemudi"

Melalui spion tengah kulihat dia juga menatapku di bangku belakang

" Dia baru di Jakarta pak?", Tanyaku.

"Engga sih, dia baru saja jadi supir taksi mas, lulusan S1"

Aku menyadari adanya realita ini, bahkan aku kenal beberapa orang yang demikian. Sarjana ekonomi menjadi satpam, sarjana sains matematika menjadi office boy, gelar sarjana bukan lagi tiket masuk.

"Sayang sekali, lulusan mana pak? "
"Wah lulusan mana yah mas, saya juga belum sempat tanya-tanya, orang baru kemarin dia masuk. Dia bekas manajer, perusahaannya bangkrut"

Seketika juga ucapannya menyedot perhatianku. Aku masih bisa mencerna apabila dia baru saja lulus, tapi manajer?

"Apa perusahaannya pak?"

"Semacam perusahaan konstruksi gitu mas"

Di bangku belakang, diatas jok hitam itu aku kembali teringat kata-kata Ayah.

Bahwa manusia terkadang tak lebih dari debu diatas meja yang kotor. Dihempaskan sekali hilang beterbangan. Sekeras apapun upaya berpegang akan kacau dan menghambur.

"Sekarang sambil mengemudi taksi, dia juga mencari pekerjaan lain mas, namun susah katanya"

Aku tak banyak berbicara setelahnya, aku terpikir kadang kita punya mimpi setinggi langit, sedikit saja meleset dari impian kita rasanya kesal dan tidak adil. Namun, banyak impian yang tak mampu keluar dari bilik-bilik kamar. Impian yang bahkan tak terpikir, karena yang terbayang hanya hingga hari esok, selebihnya cuma misteri.

Masa depan bagiku juga selalu misteri, tapi selama ini selalu kulihat terang benderang, aku sadari saat itu bahwa mungkin karena keadaan berpihak kepadaku.

Apabila tidak lagi berpihak, akankah aku masih bisa seperti ini? Ketika dihempas dengan sebenar-benarnya dihempas apa masih punya keberanian untuk melihat keatas?

"Mas dulu lulusan mana?" tanya pak Wahyudin ketika kami memutari bundaran HI

"ITB pak"

"Luar biasa, pengen saya seperti mas"

Aku hanya memberi senyum.

Sampai di tempat tujuan, aku,  masih dari bangku belakang merapihkan ranselku dan menyerahkan uang 80 ribu.

"Terima kasih mas, minggu depan saya wisuda, kelas malam, mudah-mudahan rejekinya anak-anak bisa liat bapaknya kerja kantoran"

Dari bangku belakang, aku jabat erat tangannya dan bergegas keluar.

15.57

Bangku Belakang menyisakan cerita untuk yang lain.











2 komentar: