Prolog
Rumah ini tidak berubah banyak, tapi ini pertama kalinya aku
masuk ke kamarnya. Dan itu dia, terbaring diatas ranjang.
Aku berjalan pelan ke sisi ranjang dan duduk di bangku kecil
yang tampaknya memang sudah disiapkan.
Dia tampak lemah sekali, namun seketika dia menyadari
kehadiranku.
“Aah Look at him, how are you boss?”
“Baik, how are you, Pak? “
“I’ve been better” jawabnya sambil tersenyum kecil
Ada lukisan rajutan menorah dalam bingkai tertempel di
dinding, di sisi lain tempatku duduk.
“For below reform, that’s suprising”
“Ooh that, I just kind of want to see how does it look on my
wall”
“With that level of joke, seems you’re healthy enough to
compete in next marathon”
“I can beat you even if you’re using a train”
“Well keep that spirit, pak”
Usianya mendekati 70, tapi dia tidak terlihat berbeda jauh
ketika aku pertama kali bertemu dengannya 8 tahun lalu, kalau dia tidak sakit
seperti saat ini mungkin dia benar-benar bisa mengalahkanku dalam marathon.
“Anda menyaksikan game Yankees kemarin?” sambil aku tuangkan
untuknya segelas air.
“Tidak, akibat kondisi keparat ini sangat sulit untuk
terjaga cukup lama, tapi jangan ceritakan kepadaku, Denise berjanji dia akan
beritahukan hasilnya”
“Yakin?”
“Just don’t tell Denise….”
“Red-Sox beat them”
“You must’ve been crazy, why you told me!” seakan-akan dia
benar-benar kesal.
“Benar-benar konyol, dimana Rodriguez dan… dan Tanaka, oh
yaa aku ingat they’re gone”.
“Denise akan marah besar kepadaku”
“Ngamuk lebih tepatnya” Nafasnya tampak tersengal-sengal
Tiba-tiba dia batuk keras sekali. Berkali-kali.
Kusodorkan kepadanya gelas tadi.
Setelah kembali kendali dirinya, dia tampak akan menyusun kata-kata.
“ Seems you’re doing great?”
“Yeah here and there”
"Saat pertama kali aku bertemu denganmu, ingat apa yang aku bilang?"
"Ini dia insinyur dari padang kita?"
"Yeaah, padang guy they have always something in here", sambil menunjuk-nunjuk pelipisnya.
Aku hanya tersenyum, aku sama sekali tidak mengerti kenapa dia menanyakan hal tersebut.
Walau ditengah wajahnya yang super pucat dan berbintik-bintik. Sekilas kulihat air mukanya berubah
"Saat pertama kali aku bertemu denganmu, ingat apa yang aku bilang?"
"Ini dia insinyur dari padang kita?"
"Yeaah, padang guy they have always something in here", sambil menunjuk-nunjuk pelipisnya.
Aku hanya tersenyum, aku sama sekali tidak mengerti kenapa dia menanyakan hal tersebut.
Walau ditengah wajahnya yang super pucat dan berbintik-bintik. Sekilas kulihat air mukanya berubah
“So have you decided it yet?” Matanya menatapku dalam.
Bangku kecil ini mendadak terasa dingin.
Bangku kecil ini mendadak terasa dingin.
……………
11.000
KM dan ini dia sofa yang sudah dijanji-janjikan.
Lumayan,
walaupun tidak seperti yang aku bayangkan. Tapi ini jelas lebih dari cukup.
“Sorry,
it’s just a sofa”
“Gapapa
Ka, saat ini yang penting cukup untuk bertahan hidup” jawabku sambil tersenyum
There’s
the bathroom, the water heater little bit slow tho, just throw your bag anywhere
around here,"Sambil menunjuk area kecil disekitar sofa
"My roommates won’t be here until Thursday, so just take it easy. Mmm and
anywaaaay have a nice rest, we’ll catch up tomorow, good night, Lang”
“Good
night, Ka”
Dia
masuk ke salah satu kamar, tanpa aku sempat perhatikan kamar yang mana. Selepas
kudengar suara ketukan kecil, segera kuhempaskan badan ke sofa tersebut.
Hufftt,
tarik napas dalam-dalam.
Baik,
aku disini.
Sekarang.
Duduk
dan akan tersungkur diatas sofa yang hanya dilapisi semacam taplak meja.
Tiba-tiba
terbersit apa yang John Lennon pikirkan malam sebelum dia ditembak mati di
depan apartemennya?
Apa
dia sulit tidur?
Apa
dia melihat atau mendengar tanda-tanda bahwa dia akan mati, tersungkur berlumur
darah besok.
Atau dia mungkin melihat ke luar ke arah lampu-lampu yang tak
kunjung padam di awal bulan Desember.
Seperti yang aku lakukan dari sini, dari lantai 4, 125th and
St.Nicholas.
Nah.
Just try to close my eyes.
Maybe as John did.