Ada kabar dari New York, tentang Blair yang baru menikahi
gadis pujaannya, dibesarkan dan didikte bahwa seorang wanita haruslah habiskan
hidup dengan laki-laki. Blair dan Lucy, mengikat janji semati, tidak peduli
dengan kamu atau aku atau pada teriakkan bahwa cinta dan nafsu itu tipuan terbesar
dalam hidup, jika tak mampu kau kendalikkan, lebih baik sudahi dengan kubur
dalam-dalam.
Tapi bagi Blair dan Lucy cinta katakan tidak kali ini,kali ini cinta
menang.
Ada kabar dari New York, tentang Karant yang berangkat dari
Mumbay, berbekal satu koper dan sepucuk surat. Yang sengaja ia simpan untuk
dibaca sesampainya di Bay Ridge, di sofa yang merangkap tempat tidur, di sudut
di ruang kecil yang dibaginya bersama Kashish dan Hanesh. Ditulis ibunya dengan
tinta merah, “Om gam ganesaya namah, Om kami tundukkan diri ke Ganesa, Dewa
ilmu pengetahuan, Dewa orang banyak. Karant anakku, kamu boleh rindu, tapi kamu
tidak harus kembali. Semoga diterangi jalanmu dalam perantauan”
Ada kabar dari New York, tentang Rob yang putuskan untuk
mengejar mimpinya dalam dentingan gitar dan topi cowboy, menyuarakan pesan
perdamaian yang mungkin orang-orang sudah muak dengar, dihempas lalu-lalang
orang di Times Square, ditengah kepungan kumpulan orang yang tidak peduli. Rob katakan
dengan lantang, bahwa seni itu pilihan, walau hanya kenakan celana dalam.
Selalu ada kabar dari kota New York.
Ada Kabar yang melintasi Brooklyn Bridge, yang ketika malam
diserbu seribu kunang-kunang yang terang berganti di langit-langit Manhattan.
Ada kabar yang sampai ke orang-orang Hokkien di China Town,
di tengah pasar sayur dan remang-remang lampion. Di tengah jualan oleh-oleh
murahan yang sudah rusak bahkan sebelum sampai ke tempat tujuan.
Ada kabar dari pengemudi becak asal Nigeria yang dalam
kantuk, masih sibuk tawarkan jasa di depan gerbang Central Park di Lincoln Square, untuk bersama
mereka kelilingi hutan di tengah belantara aspal dan beton.
Ada kabar dari kereta bawah tanah, yang menjadi pembuluh
darah kota yang tak pernah mengaku tua. Mengalir deras, menyebar dan menyentuh
setiap sudut kota. Mengantar setiap jiwa-jiwa yang setengah terisi dan setengah
mati berusaha bertahan.
Ada kabar yang akhirnya sampai di telingaku, yang sedang
duduk di bangku kayu di Washington Square, sambil perhatikan daun gugur
pelan-pelan, merah kecoklatan dan tembaga. Sambil kudengar alunan terompet,
yang berusaha kembalikan ingatan kota ini tentang Chet Baker, tentang Miles
Davis, tentang Louis Armstrong. Tentang romansa yang sudah menjadi kisah dan
sejarah, tentang ringan dan indahnya melangkahkan kaki di Greenwich Village,
tentang sepotong cupcake yang dibagi berdua sepasang kekasih di Bleecker Street.
Selalu ada kabar dari kota New York, tentang aku yang kian lama kian terkikis, terbentur, terbentuk dan akhirnya menjadi bagian dari deru, cita, dan cinta 8.5 juta orang yang berlalu-lalang dalam sejuknya udara musim gugur di tengah kota yang menolak untuk tidur.